Malaikat Tanpa
Sayap
Namaku Cindy. Ibukulah yang memberi nama itu. Aku
sangat menyayanginya. Ia tak pernah memperlihatkan kesedihannya. Yang ada hanya
senyum manisnya. Bagiku, senyum ibuku semanis gula.
“Cindy pulang…”. Teriakku sambil membuka pintu.
Kemudian menghampiri Ibuku dan mencium tangan dan pipinya. Ibu hanya tersenyum
dan membalas ciumku.
Aku bergegas menuju kamar dan menidurkan badanku
yang lemas di atas ranjangku yang empuk. Sepintas aku teringat sosok Mas Rifqi,
kakak kelasku yang sudah alumni di SMPku. Sudah 1 tahun lamanya aku memendam
perasaan pada Mas Rifqi. Tiba-tiba terdengar suara Handphone yang Suaranya menggelegar membelah angkasa, membuat aku
sadar dari lamunanku. Ternyata ada pesan masuk dari Mas Izal, teman dekat Mas
Rifqi saat di SMP.
Dari : Mas Izal
Udah pulang, de ? makan yang banyak
!! biar gemuk. Haha J
Aku langsung membalasnya.
Ke : Mas Izal
Udah, baru aja nyampe. Iya, nanti
aku makan yang banyak !!!
Itulah Mas Izal. Ia memang sangat baik padaku. Ia
juga sangat asyik diajak ngobrol. Tetapi Sering kali aku merasa kesal dengan
sikapnya yang berlebihan padaku.
***
Suatu hari, ketika jam menunjuk pukul 13.15, aku
masih berada di depan Sekolah. Angkutan yang kutunggu belum juga datang.
Matahari menari-nari di atas awan, seakan menertawakanku dari atas sana.
Ketika aku menoleh ke arah kanan, aku melihat
seseorang. Ia memakai baju putih abu-abu. Orang itu melemparkan senyum dan
mendekatiku.
“Eh, Mas Izal.. lagi ngapain di sini ?”. Tanyaku
pada Mas Izal.
“Aku mau fotokopi tugas nih.. apa kabar ??”.
“Baik, mas”.
“Eh, aku mau kasih ini, buat kamu.”. Ucap Mas Izal
sambil memberi kertas yang berbentuk burung-burungan itu.
“Makasih.. dari siapa ?”. Tanyaku penasaran.
“ehmm.. dari adikku, adiku sendiri yang membuatnya”.
jawab Mas Izal.
Akhirnya, angkutan umum yang aku tunggu telah datang
menghampiriku. Aku menaiki angkutannya dan Mas Izal tersenyum padaku.
***
Kurang lebih satu minggu sudah aku menyimpan burung
kertas yang diberi Mas Izal saat itu. Aku masih merasa aneh dengan perkataan
Mas Izal, kalau burung kertas itu dari
adiknya. Entahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja.
Tak kusangka, jam dinding kamarku menunjuk pukul
20.00. Ternyata aku ketiduran. Tiba-tiba aku terkejut. Aku tak melihat burung
kertas itu.
“Bu .. lihat burung kertasku ?’. Tanyaku pada Ibu.
“Memang tadi kamu taruh di mana ?”.
“Tadi aku taruh di ranjang, kok”.
“Oh, yang warna putih, yah ?
“Iya..iya.. Ibu lihat, kan ?”. tanyaku antusias.
“Tadi mau Ibu buang, tapi nggak sengaja masuk ke
air”. Jawab Ibu dengan nada lembut.
“Yah, Ibu.. terus sekarang dimana ?”. Tanyaku penuh
harap.
“Udah Ibu buang.. maafin Ibu yah.. Ibu nggak tau
kalau itu penting”.
“Emm, nggak apa-apa, kok Bu.. lagian akunya aja
yang ceroboh”. Jawabku.
***
Hari ini aku harus pergi ke Toko buku, tentunya,
untuk membeli buku. Aku ditemani Ibuku tercinta. Sesampainya di toko buku, aku
tak masuk ke dalam, karena cuacanya panas. Aku ingin menghirup udara segar dan
aku duduk di bangku panjang depan toko itu. Dan hanya Ibu yang masuk ke dalam.
Tiba-tiba ada yang memanggil namaku.
“Cindy ?!”. Sapa Mas Izal yang tampak kaget
melihatku.
“Eh, Mas Izal, ketemu lagi”. Ucapku.
“Lagi ngapain ?”.
“Lagi beli buku sama Ibuku. Tuh, Ibu ada di dalam”.
“Oh,ya.. Cindy, sebenarnya burung kertas itu, dari
aku dan aku sendiri yang membuatnya..”. Kata Mas Izal yang membuatku terkejut.
“Oh gitu.. tapi maaf, burung kertasnya nggak sengaja
kebuang, Mas”. Kataku.
“Nggak apa-apa, entar aku buatin yang lebih bagus
deh”. Ucap Mas Izal.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Mas Izal.
“Cindy, Tau nggak ? aku nganggap kamu, kaya adikku
sendiri”. Celetus Mas Izal padaku.
Spontan aku terkejut mendengar perkataan itu. Entah
mengapa, jantungku berdegup kencang. Padahal Mas Izal hanya mengatakan itu
padaku, tidak lebih. Tak kusangka, kini aku merasa Mas Izal seperti ‘Malaikat
Tanpa Sayap’ bagiku. Ia selalu baik padaku, Ia sudah banyak membantuku dan Ia
selalu memberiku semangat. Tapi terkadang aku merasa kesal dengan sifat Mas Izal
yang sedikit berlebihan padaku. Aku merasa hampir menyia-nyiakan orang yang
telah menganggapku sebagai adiknya sendiri.
Tiba-tiba Ibu keluar dari Toko buku itu.
“Ayo, pulang Nak”. Kata Ibu.
Aku mengangguk dan langsung duduk di belakang Ibuku
yang sudah tancap gas dan bersiap menjalankan motornya. Aku menoleh ke Mas Izal
dan Aku membalas senyumannya.
ya.. itulah cerpen buatan ku.. bagus kan ??
0 komentar:
Posting Komentar