Rabu, 13 November 2013

Cerpen buatanku yang kedua


Malaikat Tanpa Sayap
Namaku Cindy. Ibukulah yang memberi nama itu. Aku sangat menyayanginya. Ia tak pernah memperlihatkan kesedihannya. Yang ada hanya senyum manisnya. Bagiku, senyum ibuku semanis gula.
“Cindy pulang…”. Teriakku sambil membuka pintu. Kemudian menghampiri Ibuku dan mencium tangan dan pipinya. Ibu hanya tersenyum dan membalas ciumku.
Aku bergegas menuju kamar dan menidurkan badanku yang lemas di atas ranjangku yang empuk. Sepintas aku teringat sosok Mas Rifqi, kakak kelasku yang sudah alumni di SMPku. Sudah 1 tahun lamanya aku memendam perasaan pada Mas Rifqi. Tiba-tiba terdengar suara Handphone yang Suaranya menggelegar membelah angkasa, membuat aku sadar dari lamunanku. Ternyata ada pesan masuk dari Mas Izal, teman dekat Mas Rifqi saat di SMP.
Dari : Mas Izal
Udah pulang, de ? makan yang banyak !! biar gemuk. Haha J
Aku langsung membalasnya.
Ke : Mas Izal
Udah, baru aja nyampe. Iya, nanti aku makan yang banyak !!!
Itulah Mas Izal. Ia memang sangat baik padaku. Ia juga sangat asyik diajak ngobrol. Tetapi Sering kali aku merasa kesal dengan sikapnya yang berlebihan padaku.
***
Suatu hari, ketika jam menunjuk pukul 13.15, aku masih berada di depan Sekolah. Angkutan yang kutunggu belum juga datang. Matahari menari-nari di atas awan, seakan menertawakanku dari atas sana.
Ketika aku menoleh ke arah kanan, aku melihat seseorang. Ia memakai baju putih abu-abu. Orang itu melemparkan senyum dan mendekatiku.
“Eh, Mas Izal.. lagi ngapain di sini ?”. Tanyaku pada Mas Izal.
“Aku mau fotokopi tugas nih.. apa kabar ??”.
“Baik, mas”.
“Eh, aku mau kasih ini, buat kamu.”. Ucap Mas Izal sambil memberi kertas yang berbentuk burung-burungan itu.
“Makasih.. dari siapa ?”. Tanyaku penasaran.
“ehmm.. dari adikku, adiku sendiri yang membuatnya”. jawab Mas Izal.
Akhirnya, angkutan umum yang aku tunggu telah datang menghampiriku. Aku menaiki angkutannya dan Mas Izal tersenyum padaku.
***
Kurang lebih satu minggu sudah aku menyimpan burung kertas yang diberi Mas Izal saat itu. Aku masih merasa aneh dengan perkataan Mas Izal, kalau  burung kertas itu dari adiknya. Entahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja.
Tak kusangka, jam dinding kamarku menunjuk pukul 20.00. Ternyata aku ketiduran. Tiba-tiba aku terkejut. Aku tak melihat burung kertas itu.
“Bu .. lihat burung kertasku ?’. Tanyaku pada Ibu.
“Memang tadi kamu taruh di mana ?”.
“Tadi aku taruh di ranjang, kok”.
“Oh, yang warna putih, yah ?
“Iya..iya.. Ibu lihat, kan ?”. tanyaku antusias.
“Tadi mau Ibu buang, tapi nggak sengaja masuk ke air”. Jawab Ibu dengan nada lembut.
“Yah, Ibu.. terus sekarang dimana ?”. Tanyaku penuh harap.
“Udah Ibu buang.. maafin Ibu yah.. Ibu nggak tau kalau itu penting”.
“Emm, nggak apa-apa, kok  Bu.. lagian akunya aja yang ceroboh”. Jawabku.
***
Hari ini aku harus pergi ke Toko buku, tentunya, untuk membeli buku. Aku ditemani Ibuku tercinta. Sesampainya di toko buku, aku tak masuk ke dalam, karena cuacanya panas. Aku ingin menghirup udara segar dan aku duduk di bangku panjang depan toko itu. Dan hanya Ibu yang masuk ke dalam.
Tiba-tiba ada yang memanggil namaku.
“Cindy ?!”. Sapa Mas Izal yang tampak kaget melihatku.
“Eh, Mas Izal, ketemu lagi”. Ucapku.
“Lagi ngapain ?”.
“Lagi beli buku sama Ibuku. Tuh, Ibu ada di dalam”.
“Oh,ya.. Cindy, sebenarnya burung kertas itu, dari aku dan aku sendiri yang membuatnya..”. Kata Mas Izal yang membuatku terkejut.
“Oh gitu.. tapi maaf, burung kertasnya nggak sengaja kebuang, Mas”. Kataku.
“Nggak apa-apa, entar aku buatin yang lebih bagus deh”. Ucap Mas Izal.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Mas Izal.
“Cindy, Tau nggak ? aku nganggap kamu, kaya adikku sendiri”. Celetus Mas Izal padaku.
Spontan aku terkejut mendengar perkataan itu. Entah mengapa, jantungku berdegup kencang. Padahal Mas Izal hanya mengatakan itu padaku, tidak lebih. Tak kusangka, kini aku merasa Mas Izal seperti ‘Malaikat Tanpa Sayap’ bagiku. Ia selalu baik padaku, Ia sudah banyak membantuku dan Ia selalu memberiku semangat. Tapi terkadang aku merasa kesal dengan sifat Mas Izal yang sedikit berlebihan padaku. Aku merasa hampir menyia-nyiakan orang yang telah menganggapku sebagai adiknya sendiri.
Tiba-tiba Ibu keluar dari Toko buku itu.
“Ayo, pulang Nak”. Kata Ibu.
Aku mengangguk dan langsung duduk di belakang Ibuku yang sudah tancap gas dan bersiap menjalankan motornya. Aku menoleh ke Mas Izal dan Aku membalas senyumannya.

ya.. itulah cerpen buatan ku.. bagus kan ??

0 komentar:

Posting Komentar